Di senja itu, kegundahan menghalau dinding-dinding kerinduan. Gelora semangat meraup niatan untuk terus maju. Berbekal tekad yang kuat dan ikhtiar membujuk orang tua, seorang gadis pun berangkat mencari tempat yang dicari. Setiap daerah yang terdapat pesantren ia kunjungi. Setiap ada brosur tentang tahfizh Quran ia kumpulkan. Setiap ada informasi mengenai pesantren tahfizh ia hubungi. Hingga akhirnya, sampailah ia menghubungi salah satu pondok pesantren Tahfidul Quran dari beberapa pondok pesantren yang sudah ia hubungi.
Berbagai persyaratan dan informasi mengenai penerimaan santri pun ia kumpulkan. Setiap ia menutup teleponnya, tergurat wajah kesedihan. Sesekali ia menyeka air mata yang menetes di atas jilbabnya, sambil merunduk dan sedikit tersedu ia berkata dalam hatinya “Ya Rabb, beri aku kesempatan untuk menjadi keluargaMu”. (T_T)
Guratan sedihnya mulai menghilang saat ia menghadap sebuah kumpulan surat yang selalu ia baca. Ada sumbu api yang menyalakan kobaran semangatnya. Ia selalu mencoba untuk menghantam kesedihannya. Ya, kesedihan yang selalu menyapanya kala ia mengingat cita-citanya. Setiap malam, ia terbangun. Tak jarang terdengar suara tangis dibalik tirai kamarnya.
Hampir setiap hari pukul 3 pagi, Oneng bangun dari tidurnya. Kala ia bangun dari tidurnya, ia selalu langsung mengerjakan pekerjaan rumah dengan gesit. Ia sangka, ia sendirian dini hari itu, ternyata ia tidak sendirian. Ia mendengar suara orang yang sedang mengaji yang berasal dari ruang tamu. Ketika ia menghampiri ruang tamu, suara itu pun semakin jelas dan semakin dekat. Ia pun mencari dari mana sumber suara berasal. Kala ia dekati sebuah kamar, ia temukan anak majikannya Ahlami Qutrunnada sedang tertunduk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Oneng pun terenyuh melihatnya. Ia pun melanjutkan pekerjaannya mengepel ruangan bagian depan.
Kala subuh menjelang, Oneng masih mendengar Nada masih membaca surat Quran berulang-ulang. Setiap hari begitu kejadiannya hampir sama. Sesekali Oneng menggoda majikannya itu, tak sungkan majikannya pun meladeninya. Majikannya menganggapnya sudah seperti saudara sendiri, hingga Oneng pun merasa betah dan enggan untuk berpindah. Oneng sudah lama sekali menjadi teman dini hari bagi Nada. Tak jarang Oneng terbangun karena derap langkah nada menuju kamar mandi. Pada awalnya Oneng menganggap mungkin itu hal biasa, namun ada yang membuat Oneng kebingungan. Suatu ketika, saat beberapa malam Nada tidak bangun untuk melakukan kebiasaannya Oneng pikir mungkin Nada sedang datang bulan, kalau tidak mungkin lelah dan kecapekan. Sungguh berhusnuudzon sekali khadimat ini.
Ternyata, ketika Nada bangun dari tidurnya ada irama yang kurang enak didengar. Nada menanyakan kenapa Oneng tidak membangunkannya malam itu. Oneng pun beralasan dengan penuh khusnudzonnya pada Nada. Nada pun memohon maaf dan langsung bergegas ke kamar mandi. Oneng kira itu hal biasa jika tidak bangun kala dini hari. Namun, tahukah apa yang terjadi? Nada terlihat menangis tersedu-sedu. Hingga Oneng pun merasa bersalah. Oneng pun lekas meminta maaf, Namun yang ada Nada hanya terdiam. Nada pun tidak mempersalahkan Oneng, Nada justru meminta maaf kembali pada Oneng.
Sungguh, Nada sudah menyia-nyiakan waktunya. Nada merasa kehilangan nikmat-nikmat malamnya. Tak jarang Oneng menemukan Nada sering menangis. Hingga suatu saat Oneng harus meninggalkan tempat bekerjanya itu, Nada masih meninggalkan tanya di benak Oneng. Alasan apa yang membuat Nada begitu sering menangis.
Nada tak seperti biasanya. Gadis periang ini selalu terlihat ceria, akan tetapi banyak hal yang ketika ia ceritakan hanya membuatnya menangis. Suatu ketika, kala Nada beserta kedua temannya Hurun’ain dan Azkiya pergi menuju masjid, Nada menangis tersenggal-senggal. Sepertinya ada sesuatu yang ingin Nada bicarakan pada mereka. Aini dan Azkiya adalah sahabat perjuangannya di FOSIL-Qu. Ya Forum silaturahim Quran itu mempertemukan mereka. Kala mereka sedang berbagi cerita, pengalaman, dan kisah kesehariannya, tibalah kini Nada yang berbicara.
Untuk kesekian kalinya Nada menangis di depan Aini dan Azkiya. Nada menyayangkan sekali, setiap ia meminta izin kepada orang tuanya selalu ditolak dan selalu ada alasan yang membuat Nada mengurungkan niatnya untuk pergi berasrama. Kadang terjadi saat Nada bercerita tentang cita-citanya penuh semangat, optimis, dan riang gembira, mendadak Nada teteskan air mata.
Ternyata Nada selalu bersedih kala ia mengingat impian-impiannya. Ia ingin sekali berada di sebuah asrama yang menempa dirinya untuk menjadi keluargaNya. Banyak perenungan yang Nada lakukan, banyak sekali arah pikir yang Nada buat. Selalu dan selalu tersedu. Aini dan Azkiya hanya memberikan motivasi yang kuat. Motivasi mereka pun menghujam dan menjadi energi kuat untuk berjuang bersama menjadi keluargaNya. Nada pun selalu mengakhirinya dengan senyuman kecil sambil berkata, “Insya Allah pasti ada hikmahnya”.
Azkiya menyemangati Nada penuh doa “Barakalloh, terus saja memohon dan meminta sama Allah, toh yang punya hati Bapak dan Ibumu itu Allah, ya nda?” Logat jawa yang menjadi ciri khasnya selalu terngiang di benak Nada. Aini pun tak kalah menyemangati Nada penuh kasih sayang, “Yang semangat dong Nad, Insya Allah untuk kebaikan Allah beri jalanNya, yuk kita sama-sama menghapal”, dengan raut muka yang ceria ^_^ Aini menepukkan tangannya di bahu seperti berkata “kamu bisa”. Sambil membalas senyum Nada berkata, “Insya Allah”, lalu ia merunduk dan menyeka air mata untuk kesekian kalinya.
Sungguh nikmat sekali air mata itu terjatuh di pelupuk mata Nada. Ia mengalir bak orang terserang rindu yang amat memuncaknya. Nada tertegun sambil berdoa “Rabb, berikan hamba kesempatan”. Hingga akhirnya, Qodo Allah berpihak padanya.
Untuk kesekian kalinya Nada memohon restu pada orang tuanya untuk berasrama, dan seketika sang Bunda pun mengiyakannya, Nada merunduk dan berucap “Alhamdulillah, makasih Bunda” lalu ia mengecup tangan sang Bunda. Sambil menunggu sang Ayah pulang dari masjid, Nada mengisinya dengan Dhuha. Waktu tak terasa menunggu, 2 jam berlalu. Ayah pun datang sambil mengantongi restu pada Nada untuk turut berasrama. Allahu akbar, hidayah Allah sangatlah dekat! Tak lama, sang Ayah mengantarkan Nada untuk mengambil persyaratan berasrama. Begitu cepat tangannya merangkul Nada.
Setelah penantian selama 1 tahun setengah mendapat restu orang tua untuk berasrama. Ada hikmah dibalik waktu memohon restu pada Bunda dan Ayah. Nada memiliki waktu untuk menghafal lebih banyak sebagai persyaratan berasrama. Nada insya Allah mantap hatinya dengan persyaratan yang diajukan. Segala sesuatu akan selalu indah jika kita melihatnya penuh dengan hikmah. Kisah yang manis bukan? Tangisan Nada selama ini tidak sia-sia.
Insya Allah, Allah akan buktikan dengan tarbiyah kehidupan secara langsung bagi hamba-hambaNya yang meminta. Allah Maha dekat, kala kita mendekatinya dengan berjalan, Allah mendekati kita dengan berlari. Kala kita berlari mendekatiNya, Allah lebih cepat lagi mendekati kita. Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha Illallah Allahu Akbar! Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzdzibaan?!?!!? Kunci kehidupan ada dibalik hikmah penuh tawakkal. Bersyukur, bersabar dan taat kepadaNya. Fashbir sabran jamiila, bersabarlah dengan sebaik-baiknya. Innallaha la tukhliful mii’ad… Sungguh, Allah tidak akan pernah melanggar janjiNya. KalamNya-lah yang berbicara kala hati gundah gulana. Sandarkanlah semuanya pada Allah. Kehidupan ini hanya sia-sia jika cita-cita tanpa cintaNya. Hidup ini percuma jika hampa tanpa petunjukNya.
Jangan pernah mengurusi apa-apa yang bukan urusan kita. Selesaikanlah urusan kita terlebih dahulu sebelum mengurusi urusan orang lain. Lalu, apa urusan kita yang paling dasar?! Ya, Urusan kita untuk mengenal Allah! Saat Quran bicara:
مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj: 77)
Lihatlah! Sungguh merupakan kewajiban kita untuk mengenalNya.
Memang, tak banyak orang bisa mengungkapkan mengapa ia bisa menangis. Namun, sungguh kenikmatan yang luar biasa jika tangisan itu tak sia-sia. Apa salahnya jika kita merenungi dosa, merenungi betapa dhoifnya diri tanpa karuniaNya, betapa hina dina diri ini, menangisi diri yang tiada arti, sungguh takkan cukup amal yang kita lakukan untuk masuk ke dalam FirdausNya, hanya rahmatNyalah yang mampu menjadikan kita sebagai KeluargaNya, sebagai hamba-hambaNya yang masuk ke dalam JannahNya.
Wallahua’lam bishawab. Barakallahufiikum.
—
Pena Siti Amila Rafiani Silmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar